I
was understand...
Salma tampak murung hari ini. Ia tak
seriang seperti biasanya, entah hal apa yang membuat dirinya murung.
“Assalamualaikum Salma” Sapa Nisa,
salah satu temannya di SMA Kasih Ibu.
“Waalaikumsallam” Jawab Salma.
Sambil munyunggingkan senyum kepura-puraan.
“Kamu kenapa? Ko ga ceria seperti
biasanya?” Nisa mulai sadar perbedaan sikap Salma hari ini.
“Ah, tidak apa-apa kok. Aku hanya
sedikit malas saja hari ini.” Jawab salma mencari-cari alasan.
“Yakin? Rasanya aku ga percaya ah,
seorang Salma Althafunnisa bisa ngerasa malas saat sekolah. Bukankah kamu itu
belajar holik yah? Aaa.. kamu bohong yah.. ayo ngaku!” Selidik Nisa sambil
mengelitiki perut Salma.
“Ihh.. geli tau.. engga ko, aku gak
bohong. Suer deh” Salma mencoba memasang muka seriang mungkin, agar temannya
itu tak lagi bertanya tentang keadaannya.
“Syukur deh kalau kamu gak
kenapa-napa. Aku Cuma khawatir sama kamu Salma, aku takut kamu kenapa-napa”
Sahut Nisa memasang raut muka sedih.
“uuu.. so sweet.. Terimakasih ya
Nisa. Kamu emang sahabat terbaikku” Puji Salma terhadap Nisa.
“Iya sama-sama Salma. Aku ke meja
aku dulu yah. Nati istirahat kita jajan bareng, ok?” ajak Nisa.
Salma hanya mengangguk pelan.
Kemudian ia kembali merenung tentang kejadian semalam.
Jakarta, 9 November
2014. Pukul ; 20:30 WIB
“Sial,
bisnis saya gagal total. Padahal saya sudah mengeluarkan modal milyaran
rupiah.” Gerutu Pak Gatot, marah-marah sendiri.
“Kenapa
sih kamu pah? Dari tadi saya dengar kamu marah-marah melulu?” Bunda keluar dari
ruang kerjanya sambil membawa minuman untuk Pak Gatot.
Gimana
papah gak marah Bun? Bisnis papah gagal total. Papah rugi besar Bun. Milyaran uang papah habis.” Seru Pak Gatot
dengan sangat emosi.
“Sudahlah
pah, mungkin bukan rezeki papah. Lain kali pasti berhasil.” Bunda memberi
support terhadap Pak Gatot.
“Halah,
persetan dengan sabar. Dari dulu sudah capek bersabar, tapi tetap saja tidak
berhasil. Sudahlah papah mau istirahat dulu.” Jawab Pak Gatot sambil berlalu.
Salma
baru saja pulang dari sekolahnya. Sepanjang perjalanan pulang tadi, ia sangat
bersemangat untuk menceritakan kepada orang tuanya bahwa ia diterima di
Sarboune University, Paris, Prancis. Orang tua Salma memang belum mengetahui
hal tersebut, bahkan mereka pun tidak pernah tahu bahwa diam-diam anaknya
mengikuti seleksi penerimaan Bunasiswa baru di Sarboune University.
“Assalamualaikum”
Ucap salma sambil membuka pintu, kemudian mengamipiri Bunda dan mengecup
tangannya.
“Waalaikumsalam”
Jawab Bunda.
“Bun,
ada satu hal yang ingin Salma bicarakan sama Bunda dan papah” Salma memulai
pembicaraan.
“Ada
apa sayang? Silahkan bicara saja” Bunda menjawab dengan lembut.
“Ini
lho Bun, Salma di terima di jurusan Technology Information, Sarboune
University, Paris, Prancis. Jadi saat teman-teman Salma masih sibuk mendaftar
ke PTN, salma mulai berkuliah di Paris.” Cerita Salma dengan sangat bahagia.
“Hah?
Kapan kamu mendaftar kesana? Kenapa tak beri tahu kami dulu. Di Paris itu biaya
hidupnya sangat mahal Salma. Apa kamu tak memikirkan hal tersebut?” Bunda kaget
dengan cerita Salma. Ia bingung bukan kepalang, ia masuk kedalam kamar untuk
memanggil suaminya.
Bunda
dan Pak Gatot keluar dari kamar, mereka menghampiri Salma yang masih termenung
dengan perkataan Bunda.
“Salma
coba kamu ceritakan kepada papahmu! Bagaimana kamu bisa diterima di Sarboune
University? Berapa kira-kira biaya yang harus dikeluarkan untuk kuliah disana.”
Jelas Bunda sambil memberi kode kepada suaminya untuk siap mendengarkan.
“Di
mading sekolah Salma di tempel pengumuman tentang pendaftaran kuliah di luar
negeri. Karena Salma tertarik, salma temui Bu Ranti guru BK Salma. Salma bilang
kepada beliau bahwa Salma ingin mendaftar di Sarboune University, Paris,
Perancis. Selanjutnya Bu Ranti yang mengurus semuanya. 1 bulan kemudian, Salma
mengikuti tes seleksi, dan alhamdullilah Salma lolos Bun, Pah. Soal biaya,
Salma rasa Papah bisa membiayai Salma. Biaya per semester nya itu sekitar Rp.
8.000.000,00” Meski takut untuk menceritakannya, tampak terlihat jelas binaran
bahagia di mata Salma.
“Apa?
Rp.8.000.000,00? Kamu pikir gampang nyari uang sebanyak itu? Seenak jidat aja
bilang papah pasti bisa membiayai. Mikir dong Salma, bisnis papah sedang
hancur. Lantas dengan gampangnya kamu bilang mau kuliah ke luar negeri dengan
papah yang membiayaimu. Kamu anak yang gak tahu diuntung. Entah apa yang salah
akan dirimu, semenjak kamu lahir bisnis papah jadi tak sejaya dulu” dengan suara tinggi, Pak Gatot
melontarkan kata-kata yang membuat hati Salma hancur.
Kata-kata
itu laksana peluru yang ditembakkan dengan cepatnya tepat di jantung Salma.
Berguncang. Salma benar-benar tak kuasa membendung air matanya lagi. Deras,
sangat deras. Salma tak berhenti menangis hingga semburat fajar terlihat.
Memang
benar apa yang dikatakan papahnya. Sejak Salma lahir, bisnis papahnya sedikit
demi sedikit menurun. Sebenarnya, bukan kali ini saja Salma mendengar ucapan
seperti itu. 5 tahun silam, saat salma
merengek ingin membeli sepeda baru, papahnya mengatakan bahwa sangat sulit
sekali memenuhi permintaan Salma.
Padahal dia termasuk orang kaya, namun ketika Salma punya keinginan, kekayaan
itu lenyap seketika. Mungkin saat itu Salma terlalu kecil untuk mencerna
perkataan papahnya. Salma hanya menganggap itu sebagai emosi semata. Namun kali
ini amat berbeda dengan kejadian 6 tahun silam, Salma sudah cukup dewasa untuk
memahami perkataan tersebut. Ya, memahami bahwa papahnya menganggap dia seorang
parasit yang menyebabkan hancurnya bisnis papah Salma.
“Apa
benar yang dikatakan papah? Apa benar aku hanya seorang parasit? Apa benar aku
pembawa sial” pertanyaan-pertanyaan semacam itu bermunculan di kepala Salma.
Tentu ini sangat mengganggu batin Sama. Sejak kejadian malam itu, Salma
bukanlah Salma seperti biasanya. Salma bukan lagi seorang yang hoby bercerita,
kini ia menjadi sosok yang sangat pendiam. Teramat sangat. Ia hanya mengangguk,
menggeleng dan sedikit tersenyum jika ada yang bertanya kepadanya.
Mimpi,
Mimpi, Mimpi...
“Panggilan kepada Salma Althafunnisa, ditunggu
di ruang BK sekarang” suara panggilan berdenging keras dari ruang Guru.
Panggilan
tersebut mengingatkan Salma akan sesuatu. Sarboune University. Bagaimana
masalah itu? Rasanya, tak mungkin jika papahnya mau membiayai kuliah Salma.
Saat ini, jangankan membicarakan hal tersebut, bertemu dengan papahnya pun, ia
sangat menghindari. Pusing, bingung, gelisah, sedih. Campur aduk perasaan Salma
saat ini. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Berkuliah di Sarboune University
merupakan impiannya sejak duduk di bangku SMP. Namun, jika Salma kuliah disana,
maka benarlah tuduhan papahnya bahwa ia adalah seorang parasit.
Dengan
langkah lunglai, Salma berjalan menyusuri ruang kelas menuju ruang BK. Ia masih
bingung apa yang harus ia katakan kepada Bu Ranti. Apa dia akan memutuskan
untuk tidak jadi kuliah, atau meneruskan kuliah.
“Assalamualaikum
bu” Sapa Salma terhadap Bu Ranti.
“Waalaikumsalam,
Silahkan duduk Salma” Sambut Bu Ranti dengan raBun.
Salma
duduk di kursi yang sudah disediakan Bu Ranti.
“Salma
sudah tahu kan kenapa ibu panggil Salma kemari?” Tanya Bu Ranti.
Salma
mengangguk pelan.
“Jadi
bagaimana? Kamu jadi kan kuliah disana?” Tanya Bu Ranti.
Salma
menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan tersebut. Ia juga sibuk
mengatur emosinya. Jangan nangis. Jangan nangis. Tekad Salma dalam hati.
“Saya
tidak tahu bu. Kemungkinan besar sepertinya tidak jadi. Orang tua saya tidak
mengijinkan untuk kuliah disana” Dengan perasaan berat, akhirnya keluarlah
kalimat tersebut. Kalimat yang sesungguhnya bagai sembilu yang menusuk hati
salma.
“Kenapa?
Bukankah dulu kamu sangat yakin untuk berkuliah disana? Cobalah kamu pikirkan
lagi salma, kesempatan emas seperti ini tidak akan datang dua kali. Kamu tahu
kan, bukan hanya ribuan orang yang ingin kuliah di Sarboune University tapi
jutaan bahkan puluhan juta orang di dunia ingin berkuliah disana.” Bu Ranti
benar benar terkejut dengan jawaban Salma.
Salma
mulai menitikan air mata.
“Iya
Salma tahu bu. Salma juga tak ingin hal ini terjadi. Jika Salma adalah sang
penguasa dunia pastilah Salma tak akan melakukan hal tersebut. Tapi apa daya,
Salma hanya seorang manusia biasa bu” Salma mengatakannya sambil terisak.
“Kenapa Salma? Apa ada masalah denga orang
tuamu?” Bingung, Bu ranti bertanya.
“Iya
bu. Orang tua salma tidak mengijinkan Salma untuk kuliah disana. Mereka tidak
punya biaya untuk membiayai kuliah Salma disana. Bisinis papah salma bangkrut
bu.” Dengan sejuta tangisan yang tertahan, Salma berusaha tetap terlihat tegar
untuk menceritakan hal itu kepada Bu Ranti.
“Biaya?
Kalau soal itu, insyaallah ibu punya solusinya.” Bu Ranti pergi mengambil
sesuatu. Kemudian kembali lagi dan menunjukkannya ke Salma.
Salma
membacanya dengan teliti. Secercah harapan muncul setelah Salma membaca pengumuman
tersebut. Beasiswa. Itulah solusi yang ditawarkan Bu Ranti. Solusi yang
benar-benar bisa membebaskan Salma dari keadaan serba salah ini.
“Bagaimana?”
Tanya Bu Ranti.
“Alhamdullilah.
Terimakasih ya Allah. Terimakasih bu. Saya akan berusaha semaksimal mungkin
agar saya bisa mendapatkan beasiswa ini. Terimakasih. Terimakasih.
Terimakasih.” Ucap Salma kepada guru BK nya itu.
Beasiswa
itu adalah Beasiswa Presiden. Beasiswa dari Presiden Republik Indonesia yang
ditunjukkan untuk anak bangsa yang memiliki kecerdasan dan kemauan tinggi untuk
melanjutkan pendidikan namun terhalang oleh faktor ekonomi. Syarat yang
diajukan pun tak mudah. Para penerima beasiswa harus memiliki nilai rata-rata
diatas 9. Dan selama kuliah, para penerima beasiswa harus meraih nilai cumlaude.
“Bismillahirahmanirahim..
ya Allah ridhai hamba untuk kuliah disana. Jadikan beasiswa tersebut menjadi
solusi untuk mewujudkan mimpi-mimpi hamba. Hamba hanya ingin menjadi anak yang
membanggakan orang tua hamba, membahagiakan mereka. Hamba ingin menjadi sebab
atas senyum mereka. Ridhoi hamba ya allah. Hamba ingin mewujudkan mimpi-mimpi
hamba karena usaha sendiri. Hamba tak ingin menyusahkan orangtua hamba. Karena
hamba bukan seorang parasit. Hamba bukan parasit yang selalu menjadi sebab air
mata bagi kedua orang tua hamba. Bukan. Lahaulawalaquwwataillabillahilalihil’adjim,
manjadda wa jada. Amiin ya rabbal’alamiin”. Hari itu langit menjadi saksi atas
tekad kuat Salma. Ribuan malaikat pun ikut mengamini doa Salma tersebut.
Bergetar. Sungguh kuat kekuatan doa Salma. Bahkan jika orangtua Salma mendengar
doa tersebut, menagis lah mereka menyesali segala perbuatannya.
Awan Hitam
Bak
keadaan bumi bagian utara yang tak sama dengan keadaan bumi bagian selatan.
Kebahagiaan Salma di sekolah juga berbeda dengan suasana di rumah. Rumah besar
Salma kini bertuliskan “RUMAH INI DI SITA BANK”. Sungguh Salma tak mengetahui
apapun tentang hal tersebut. Ia masih belum bisa memahami keadaan ini.
Bagaimana bisa rumah yang telah menjadi saksi bisu kehidupan Salma selama 17
tahun kini bukan miliknya lagi. Rumah yang menyimpan kenangan sedih maupun
kenangan bahagia kini disita. Lantas kemana dia dan keluarga akan pergi?
“Salma..”
dengan berlinang air mata, Bunda memanggil Salma.
“Bunda...
ada apa ini Bun? Apa yang terjadi dengan rumah kita?” Salma memeluk Bundanya.
“Sabar
ya sayang, mungkin ini ujian untuk keluarga kita. Rumah kita disita oleh bank,
ini semua karena papahmu tidak bisa membayar hutangnya. Ia menggadaikan
sertifikat rumah kita untuk meminjam modal ke Bank. Ya allah, Salma..
benar-benar malang nasib kita nak” Bunda sebenarnya juga teramat sedih dengan
kejadian ini, namun ia tetap tegar demi Salma.
“Lantas
sekarang papah dimana Bun? Salma ingin bertemu papah.” Tanya Salma.
“Papahmu
sekarang ada di klinik. Ia pingsan, belum sadarkan diri hingga saat ini.
Mungkin ia belum bisa menerima kenyataan ini.” Jawab Bunda sambil menyeka air
matanya.
Tersungkur.
Salma tersungkur ke tanah dengan air mata yang terus mengalir. Ia sungguh
merasa bersalah. Mungkinkah benar bahwa ia adalah seorang parasit, pembawa
kesialan untuk keluarga ini. Jika benar, tentulah kejadian ini pun Salma
penyebabnya. Lalu, akan kemana langkahnya akan pergi sekarang? Pantaskah ia
meneruskan mimpi-mimpinya?
dengan sisa-sisa kekuatan, Salma pergi ke klinik untuk mengunjungi papahnya. Dia sudah menguatkan hati agar siap menerima semua perkataan papahnya. Sejahat apapun, dia tetep papahnya. Jika bukan karena papahnya, tak ada satu orangpun yang mau membiayai Salma selama 17 tahun lamanya.
dengan sisa-sisa kekuatan, Salma pergi ke klinik untuk mengunjungi papahnya. Dia sudah menguatkan hati agar siap menerima semua perkataan papahnya. Sejahat apapun, dia tetep papahnya. Jika bukan karena papahnya, tak ada satu orangpun yang mau membiayai Salma selama 17 tahun lamanya.
“Papah..
“ Salma berhambur memeluk papahnya.
Pak
Gatot masih belum sadarkan diri.
“Maafkan
Salma pah. Maafkan Salma. Salma janji, Salma tidak akan menyusahkan papah lagi.
Papah bangun ya. Biar Salma yang menanggung beban papah sekarang. Papah harus
bangun pah, Salma sayang papah” Salma menangis.
Mata
orang tua tersebut mulai membuka. Jari jemarinya mulai bergerak-gerak. Wajahnya
menoleh sedikit demi sedikit mencari seseorang yang tulus menyayanginya yang
telah membuat ia sadar dari pingsan 5 jam nya. Pak Gatot siuman.
“Alhamdullilah,
terimakasih banyak ya Rabb.. Pah, papah.. Salma sayang papah. Teramat sangat
pah.” Salma mencium kening dan memeluk papahnya.
Pak
gatot tak merespon apapun. Ia hanya membiarkan Salma memeluk erat dirinya.
Jujur, pikiran bahwa Salma adalah parasit masih ada dalam pikirannya. Namun, ia
tak bisa memungkiri bahwa ia begitu menyayangi Salma. Putrinya, darah
dagingnya, kebanggaannya. Tanpa sadar, satu tetes air mata jatuh di pipi Pak
Gatot.
Karena
rumah mereka sudah disita Bank, Bunda membeli sebuah rumah kecil dengan uang
hasil penjualan perhiasannya. Kini mereka tinggal di sebuah kawasan kumuh dekat
sungai ciliwung. Tak nyaman memang, tapi bagaimana lagi. Pilihan untuk tinggal
di kawasan kumuh rasanya lebih baik daripada tinggal di kolong jembatan.
Tinggal
di kawasan kumuh, tentulah tidak mudah bagi keluarga mereka. Keadaan disini
jelas bak langit dan bumi dengan keadaan di rumahnya dulu. Mereka harus
membiasakan diri dengan lingkungan kotor, pergaulannya yang berbeda, juga
tatapan-tatapan sinis masyarakat sekitar melihat keluarga mereka. Tatapan sinis
itu bukan tanpa alasan, ini tentu karena perbuatan papahnya. Dulu papahnya lah
yang dengan teganya membakar sebagian rumah-rumah warga disini hanya untuk
bisnis pribadinya. Sekarang, bahkan papahnya sendiri tinggal di kawasan itu.
Hari-hari mereka di rumah baru, sedikit demi sedikit mulai berjalan normal. Bunda
mulai kembali bekerja, ia terpaksa menjadi tulang punggung keluarga sekarang
karena Pak Gatot masih trauma dan hanya bisa melamun semenjak kebangkrutannya.
Serigala
Berbulu Domba
“Pah, ini kopinya. Papah mau sarapan apa pagi
ini?” sapa Bundanya di pagi hari.
Papahnya
tak bergeming sedikit pun. Tetap menatap lurus ke depan, menerobos awan pekat
yang kini menyelimuti hidupnya. Berharap agar waktu bisa terulang, agar ia bisa
membatalkan rencana bisnis tersebut.
Sebetulnya, bisnis yang dijalankan papahnya
jelas menjanjikan keuntungan berlimpah. Bisnis di bidang properti. Papahnya
tentu sudah tidak aneh dalam hal berbisnis. Ia dikenal sebagai pebisnis di bidang
perminyakan. Ia memiliki banyak aset minyak di pulau kalimantan. Namun, untuk
bisnis property, ini jelas debut pertamanya. Ia diajak temannya untuk berbisnis
di bidang property, ia juga di janjikan keuntungan berlimpah dari bisnis ini.
Namun manusia tetaplah manusia. Sifat egoisme, ingin menjadi penguasa
sepenuhnya itu muncul dari teman bisnisnya. Teman papahnya menipu habis-habisan
papahnya. Setelah beberapa lama menjalin kerjasama bisnis, suatu hari temannya
itu datang ke rumahnya. Memasang raut wajah sengsara yang sebenarnya hanya
sebuah kepura-puraan. Ia menjelaskan dengan sangat menyesal.
“Saya
mohon maaf dengan amat sangat Pak. Seandainya saya tahu bisnis ini akan gagal,
tentu saya tidak akan mengajak bapak bergabung dengan bisnis saya. Tapi, manusia
tetaplah manusia. Ia hanya bisa berharap, tak bisa menentukan. Jelas ini adalah
takdir dari Allah. Maafkan saya pak. Maafkan. Maafkan saya dengan teramat
sangat.” Begitu ucapan maaf dari teman bisnis papahnya.
Sungguh
itu hanyalah sebuah kamuflase semata. Topeng kebiadaban dari seorang manusia
yang haus akan kekayaan. Beberapa minggu setelah kepindahan keluarganya di rumah
baru, Salma melihat teman papahnya itu sedang tertawa bahagia sambil bersalaman
dengan seorang pengusaha asing. Penandatangan kerjasama. Ternyata bisnis
tersebut tidak benar-benar gagal. Justru sebaliknya, bisnis tersebut
benar-benar berhasil. Rencana pembangunan pusat perbelanjaan di ibu kota
tersebut berjalan mulus.
“Pak
Kadir? Bapak Pak Kadir kan teman bisnisnya papah dulu?” tanya Salma saat pak
Kadir setelah pertemuannya dengan pengusa asing.
“Iya,
lho ko kamu bi.. bi.. sa ada disini? Lagi ngapain?” jawab Pak Kadir tergagap.
“Salma
memang tinggal disini sekarang. Setelah bisnis papah dengan bapak gagal,papah
Salma bangkrut.”
“Oohh..
saya turut berduka cita ya Salma”
Kemudian
datang rekan kerja Pak Kadir.
“Hey,
Hebat kau Dir.. bisnis besar pembuatan pusat perbelanjaan kau akan benar-benar
terealisasi. Sayang, si Gatot tidak seberuntung kau. Haha.. dia dengan mudahnya
tertipu dengan akal cerdasmu, menanamkan modal milyaran rupiah untuk bisnis
ini. Dan kau, dengan pintarnya memanfaatkan kebodohannya. Bagilah taktik-taktik
kau padaku? Bagaimana bisa seorang Pak Gatot yang terkenal hebat itu hancur di
tanganmu?” Ucap Teman Pak Kadir tanpa tahu jika Salma adalah Anak Pak Gatot.
HANCUR
Salma
tercengang. Jelas hatinya telah mengutuk teman papahnya itu. Biadab. Ia tega
sekali menipu papahnya. Dengan air mata yang tertahan, dan emosi yang membara
Salma meninggalkan tempat tersebut. Ia berjanji akan menceritakan hal tersebut
kepada papahnya. Papahnya harus tahu tentang ini. Ia harus tahu bahwa selama
ini temannya hanya berkamuflase dari
kebusukannya. Temannya itulah yang pantas mendapat julukan “Serigala berbulu domba”.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsallam..”
Bunda menjawab salam Salma.
“Bun,
papah mana? “ Tanya Salma.
“Papah
ada di belakang rumah, ia sedang melakukan ritual rutinnya. Melamun, menyesali
hidup.” Jawab Bunda dengan keputusasaan.
Salma
segara menuju belakang rumahnya. Menatap sejenak wajah yang teramat di
cintainya itu. Papahnya yang dulu kekar kini berubah tak berdaya. Seolah tak
ada lagi harapan hidup setelah kegagalan bisnisnya. Salma sudah tak sabar ingin
menceritakan tentang kebusukan rekan bisnis papahnya itu. Ia menghampiri
papahnya dan mengecup telapak tangannya dengan lembut.
“Assalamualaikum pah.. papah apa kabar?”
Tak
ada jawaban dari papahnya.
“Pah,
tadi Salma bertemu dengan Pak Kadir. Rekan bisnis papah dulu. Ia banyak berubah
sekarang pah”
Bola
mata papahnya mulai melirik Salma. Namun kembali acuh. Papahnya pasti berfikir
bahwa nasib Pak Kadir sama buruknya dengan dia. Salma tetap melanjutkan
ceritanya.
“Tadi
pas pulang sekolah, Salma bertemu dengan Pak Kadir di lokasi dulu papah pernah
membakar rumah-rumah penduduk kampung karena lahannya telah papah kuasai. Ia
sedang mengadakan pertemuan dengan seorang pengusaha asing, untuk membahas
bisnis pusat perbelanjaannya itu. Bisnis yang dulu ia janjikan kepada papah
akan memberi keuntungan besar.”
“Oh..
hebatnya Kadir, ia bisa bangkit dari keterpurukan dengan cepat” komentar
papahnya pendek.
“Tidak
pah, papah keliru. Bisnis itu tidak pernah gagal sama sekali. Semua kegagalan
yang diceritakan dia kepada papah semuanya bohong. Semuanya baik-baik saja.
Bahkan bisnis tersebut berjalan dengan pesat. Ia hanya memanfaatkan papah
sebagai pemberi modal, ketika ia sudah mendapatkan modal dari papah ia
merancang sedimikian rupa agar bisnis itu terlihat gagal. Papah telah ditipu
olehnya.”
“Besok
antarkan papah, bertemu Pak Kadir. Papah ingin melihatnya langsung” Ucap
papahnya dengan suara datar. Namun kekecewaan, kemarahan serta ketidakpercayaan
tergambar jelas dari raut wajahnya. Papahnya pergi meninggalkan Salma.
Menenangkan diri, berharap semua itu tidak benar.
Esoknya
Salma mengantar papahnya melihat Pak Kadir. Pemandangan yang amat meyedihkan.
Pak Kadir terlihat tertawa bahagia bersama pengusaha asing itu. Membicarakan
betapa akan megahnya pusat perbelanjaan tersebut. Salma menangkap mata papanya
mulai meredup. Sedih, kesal, kecewa, marah namun semua rasanya itu tak bisa ia
luapkan. Ia bukan siapa-siapa sekarang, tak akan ada yang mau membelanya.
Lagipula ia juga tak punya bukti apapun, ia begitu percaya terhadap temannya
itu sehingga ia melupakan soal surat perjanjian. Ah, betapa dia bisa menjadi
sebodoh itu. Salma yang tak ingin papahnya semakin menyesali dirinya sendiri,
menuntun papahnya untuk pulang. Namun papahnya malah melepaskan gandengan itu,
ia berjalan sendiri. Meninggalkan Salma yang masih termangu. Kenapa Papahnya?
Papahnya kembali ke rumah dengan
Salma berada di belakangnya. Entah badai apa yang menghujam papahnya, papahnya
marah besar. Seisi rumah dibuat kaget olehnya.
“Sungguh hidupku ini penuh derita.
Segala bencana semuanya menghampiriku. Salah apa aku tuhan? Lebih baik aku
pergi dari bumi Mu daripada aku harus menanggung beban sebesar ini” Murka. Pak
Gatot sangat murka.
“Ada apa pah? Ada apa? Kenapa kau
tiba-tiba marah seperti ini?” Bunda segera keluar dari kamar setelah mendengar
kemarahan Pak Gatot.
“Apa ku bilang? Dari zaman dahulu,
anak perempuan itu hanya membawa petaka saja. Lihat, sedikit demi sedikit
bencana mulai menghampiriku. Aku sungguh kecewa terhadapmu, kenapa kau
melahirkan anak perempuan”
“Astagfirullah.. nyebut pah
nyebut..” ucap Bunda lirih.
“Nyebat nyebut. Lihat gara-gara aku
menghadiri rapat orang tua di sekolah Salma aku jadi bertemu dengan Kadir.
Sekarang Kadir telah menipuku. Ia menghancurkan semua bisnisku. Apa itu belum
cukup jelas, untuk menjelaskan..”
Salma tepat ada di depan pintu
ketika kata-kata itu terucap. Sakit. Teramat sakit hati Salma. Kata-kata itu
telah memporak porandakan benteng kesabaran yang telah dimiliki Salma.
Kesabaran yang timbul dari kasih yang tulus dari seorang anak ke papahnya. Ia
telah benar-benar membangun benteng kesabaran itu dengan kuat. Mencoba memahami
bahwa semua kata-kata buruk yang keluar dari mulut papahya hanya emosi semata.
Tapi kini, semua itu hancurlah sudah. Tak ada kata terucap. Ia segera masuk ke
kamar. Mencurahkan segala duka laranya di atas kasur. Deraslah air mata itu
mengalir.
“Sungguh tega kau pah. Bagaimanapun
kau adalah papahnya. Salma adalah darah dagingmu.”
“Terserah. Bahkan aku merasa
beruntung jika ia pergi dari rumah ini.”
“Kau memang biadab”. Bunda menyusul
ke kamar Salma.
“Salma..” Panggil Bunda
“Sabar ya sayang.. papahmu hayang
sedang tersulut emosi”
“Bun, apa benar Salma itu anak
kandung Papah dan Bunda?” Tanya Salma kepada Bundanya
Mendengar
pertanyaan Salma, Bunda bahkan harus mengatur detak jantungnya berulang kali.
“Tentu sayang. Kamu adalah putri
semata wayang kami. Kesayangan kami dan kebanggaan kami”
“Jika benar Salma adalah anak
kalian. Kenapa Salma tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang papah, Bun?
Kenapa papah slalu menyalahkan Salma atas sgala cobaannya? Kenapa Salma selalu
dituduh sebagai penyebab ketidakberuntungan Papah? Kenapa Bun, Kenapa..............?
Apa pernah Salma menyakiti hati kalian? Apa pernah Salma berbuat kesalahan
terhadap kalian? Jika iya, coba ceritakan Bun. Sebesar apa kesalahan Salma hingga
Papah tega menghukum Salma dengan segala tuduhan-tuduhannya itu. Jika Papah
tidak menginginkan Salma lahir, kenapa ia tidak marah kepada Allah. Kenapa
Papah malah melampiaskan ketidaksukaannya itu pada Salma. Kenapa Bun..?
Kenapa.....................??? Jawab Bun, Salma lelah. Salma benci semua
perkataan papah itu. Salma ga tahan Bun...” Hancur. Entah sudah berapa kali
hati Salma hancur. Namun setidaknya, ia telah meluapkan semua perasaan yang ia
pendam selama bertahun-tahun. Tentang kenapa? Kenapa? Dan kenapa?
Sebilah
bambu seolah langsung menyayat hati Bunda saat itu juga. Ia tahu apa yang Pak
Gatot katakan kepada Salma, namun ia sungguh tak menyangka jika anaknya selama
ini teramat menderita. Ia hanya berfikir jika Salma selalu menganggap semua perkataan
Papahnya sebagai luapan amarah semata. Ia benar-benar telah salah besar.
“Lalu apa yang harus Bunda lakukan
nak? Apa yang harus bunda lakukan agar bunda bisa mendapatkan maaf darimu..
apaa????????? Aaaaapaaaa sayaangg?” Bunda bersimpuh dihadapan Salma. Memohon,
meminta, menangis, atau apapun itu asal Salma memaafkannya.
“Bunda...” Salma berkata lirih
sambil membangunkan Bundanya.
“Tidak.. Bunda tak mau bangun.
Bahkan Bunda juga sudah tak ingin hidup lagi jika anak Bunda satu-satunya tak
memaafkan Bunda. Bunda tak mau...” Seru Bunda sambil terus menangis.
“Bun.. (Salma kembali menangis)
maafkan Salma.. Maafkan Salma.. Salma sudah membuat Bunda sedih bahkan Bunda
pun tak mau hidup lagi gara-gara Salma.. Maafkan Salma bun.. Salma memang bukan
anak yang berbakti..”
“Tidak sayang.. Sungguh, Kamu adalah
anugerah terindah yang dikirimkan Allah untuk Bunda. Bahkan bermilyar amal baik
Bunda pun tak akan mampu membayar kebaikan sang Maha Pencipta yang telah
menciptakan Salma untuk Bunda. Bunda sayang Salma, teramat sayang.. Maafin
Bunda ya.. Salma boleh hukum Bunda apa aja, asal Salma jangan marah sama Bunda”
Salma
menghambur memeluk Bunda. Salma memang masih sakit hati, namun demi Bunda ia
akan menelan semua kesakithatiannya itu. Jangankan hanya bertabah dengan semua
perkataan ayahnya, bahkan ia rela mati demi Bunda. Semuanya demi Bunda. Ia
berjanji.
Harapan itu masih ada
Keesokan
harinya, Salma kembali normal atau hanya pura-pura terlihat normal demi
bundanya. Ia berangkat sekolah tanpa menatap papahnya sedikit pun, bukan karena
ia benci untuk melihat papahnya ia hanya takut api kemarahan itu akan tersulut
kembali setelah matanya menatap Papahnya. Ia sungguh tak ingin, ia sudah
berjanji pada Bunda.
Di
Sekolah ia bertemu dengan Ibu Ranti.
“Salma
ibu harus bicara denganmu. Ikut ibu ke ruang BK” perintah Bu Ranti
Salma
berjalan beriringan dengan Bu Ranti ke ruang BK.
“Silahkan
duduk Salma” Sahut Bu Ranti
“Terimakasih
Bu” Jawab Salma
“Salma,
ibu mau tanya sama kamu? Akan dibawa kemana langkahmu itu? Masa depan yang
seperti apa yang telah kau rencanakan untuk kau jalani? Ibu bingung benar-benar
bingung. Kau melepas kesempatan emas untuk masuk Sourboune University, Kau tak
mendaftar sebagai peserta SNMPTN dengan alasan orang tuamu tidak memberimu
izin. Lantas apakah kamu tidak akan melanjutkan sekolah? Hanya akan sampai
jenjang SMA saja?.....”
“Bu..”
“Sebentar,
ibu belum selesai bicara. Kamu adalah murid berprestasi, murid paling bersinar
di sekolah ini. Kamu cerdas Salma, semua orang tahu itu. Jika kamu tidak
melanjutkan kuliah, ibu benar-benar.. ah ibu benar-benar tak bisa
membayangkannya. Bagaimana mungkin murid secerdas kamu, langkahnya terhenti di
bangku SMA. Salma apa kau tak merasa bahwa kecerdasanmu itu bukan hal yang bisa
di sia-siakan begitu saja. Ayolah Salma, Negara ini masih butuh orang-orang
cerdas seperti B.J Habibie. Kau itu generasi emas, aset berharga bagi bangsa ini.
Salma, ibu sungguh kecewa haahh.. bagaimana mungkin ini bisa terjadi.. ya rabb”
Keluh Bu Ranti sambil terus berusaha menormalkan detak jantungnya.
“(Menarik
nafas panjang) Bu.. Salma minta maaf jika Salma pada akhirnya harus
mengecewakan ibu. Tapi ini diluar kuasa Salma sebagai manusia biasa. Salma
benar-benar tak berdaya untuk hal ini. Ibu tahu, bahkan ibu tak mungkin bisa
membayangkan betapa hancurnya hati Salma saat ini. Melepaskan semua impian yang
telah begitu lama Salma rajut, bukanlah hal yang mudah untuk Salma. Bahkan
kini, Salma benar-benar tak tahu harus melakukan apa.. Saat ini, Salma ada di
titik terendah keputusasaan.” Cerita Salma dengan raut keputusasaan
Bu
Ranti memeluk Salma, air matanya mengalir deras membasahi bahu Salma.
“Rabb..
Cobaan apa yang kau berikan pada makhluk kecil ini? Sungguh hati ini masih
belum bisa menerima takdir yang kau berikan kepadanya.. maafkan aku, jika
lagi-lagi aku menjadi hambamu yang bodoh yang tak pernah jeli dimana letak
keadilan yang berikan kepada Salma.. meski begitu, kabulkan permintaan hamba..
hambamu ini sungguh menyayangi seseorang yang kini ada di pelukan hamba, hamba
mohon lindungilah dia, berikanlah ia kebahagiaan, dan sukseskanlah ia di segala
usaha yang ia lakukan. Hiks.. “
Bu
Ranti mengusap air matanya, dan mulai menatap mata Salma. Salma masih tak
bergeming dalam raut keputusasaan.
“Salma
dengarkan ibu.. apapun jalan yang nanti kau tempuh kamu harus tetap kuat,
janganlah kau menjadi bodoh seperti ibu. Kamu harus tetap menjadi Salma yang
cerdas, cerdas membaca letak keadilan Allah di setiap takdir yang Ia berikan.
Jangan pernah bunuh mimpi-mimpimu, karena meski mimpi-mimpi itu hancur
kepingan-kepingannya masih bisa kamu pegang sebagai tujuan hidup. Ingat ketika
kamu bermimpi, maka Allah akan memeluk mimpi-mimpi itu. Allah tak akan pernah
meninggalkan dirimu sendirian, ia akan setia bersamamu. Semangat.. jalanmu
masih panjang, jika kamu menyerah saat ini maka kamu akan kehillangan
kesempatan melihat kejutan indah yang telah Ia siapkan di depan sana. Kamu
masih punya kesempatan, SBMPTN. Kejarlah itu, ibu akan selalu mendukungmu.”
“Terima
kasih bu, terima kasih atas kasih tulus ibu. Yah, Salma harus bangkit menata
masa depan Salma. Jika memang orang tua Salma hancur itu tak berarti Salma
harus ikut hancur juga. Salma harus tetap berjuang meraih impian Salma. Terima
kasih bu, I’m so lucky to have you as my great teacher” Salma memeluk Bu Ranti
sekali lagi. Harapan itu kembali muncul di benak Salma.
Hari
demi hari, lembar demi lembar buku tlah Salma lahap. Tak hanya belajar, Salma
pun kini bekerja part time di salah satu restoran makanan cepat saji. Ah,
terlihat lelah memang namun rasanya ini akan sebanding dengan indahnya impian
yang terealisasikan.
Sore
senja di pinggir sungai Ciliwung, Salma pulang sore hari ini. Ia pulang dengan
membawa makanan yang ia dapat dari Boss nya. Makanan yang cukup mahal,
sepanjang jalan ia hanya membayangkan betapa lezatnya makanan itu. Salma
menyantap makanannya, dan tak lama setelah itu papahnya menghampiri dan
langsung memakan paksa makanan Salma.
“Pah,
tapi itu makanan Salma. Salma pengen banget makan itu”
Diam
tak memberi tanggapan, melanjutkan makan.
“Pah,
apa bisa papah memikirkan Salma sedikit saja? Selama ini Salma selalu berusaha
agar tidak membebani pah, agar papah bisa berhenti menganggap Salma parasit di
kehidupan Papah. Salma belajar siang malam, kerja part time, itu semua Salma
lakukan demi Papah. Salma ga pernah sepeser pun minta uang ke papah untuk biaya
pendidikan Salma, Salma tak pernah menuntut papah untuk membelikan baju-baju
mahal untuk Salma, Salma tak pernah menyuruh papah seperti papah-papah teman
Salma. Ta.. ta.. pi Salma hanya ingin papah menghargai Salma sedikit saja,
menghargai segala usaha yang Salma lakukan. Jika Papah tidak mampu membiayai
Salma secara material, tidak bisakah papah mendukung Salma dengan hanya sebuah
kata-kata, dengan hanya menghargai dan menganggap Salma sebagai anak papah?”
“Praaak”
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Salma.
“Anak
kurang ajar. Tidak tahu diri. Kamu sudah aku besarkan sampai saat ini, kamu
sudah aku biarkan hidup sampai saat ini. Kemana kau hilangkan semua jasaku itu?
Aish, aku hampir lupa. Jangankan untuk membalas jasaku, yang ada kau malah
mebuatku jatuh ke tempat terendah seperti ini. Kau telah membawa banyak
kesusahan dalam hidupku. Aaahh.. aku benar-benar gila. Kenapa dulu aku harus
membesarkan anak seperti dia, jika pada akhirnya hanya akan menjadi penyebab
banyak kesulitan dalam hidupku dan malah dengan bangganya menyombongkan diri
jasa-jasa dia yang dia anggap akan berguna bagi kehidupanku. Kau memang anak
yang tidak tahu terimakasih, kau mungkin tidak akan lulus dalam tes itu. Biadab
!!!!!”
Hari itu
akhirnya tiba, SBMPTN
No comments:
Post a Comment