Wednesday, November 22, 2017

I'm Not Parasit



I was understand...
            Salma tampak murung hari ini. Ia tak seriang seperti biasanya, entah hal apa yang membuat dirinya murung.
            “Assalamualaikum Salma” Sapa Nisa, salah satu temannya di SMA Kasih Ibu.
            “Waalaikumsallam” Jawab Salma. Sambil munyunggingkan senyum kepura-puraan.
            “Kamu kenapa? Ko ga ceria seperti biasanya?” Nisa mulai sadar perbedaan sikap Salma hari ini.
            “Ah, tidak apa-apa kok. Aku hanya sedikit malas saja hari ini.” Jawab salma mencari-cari alasan.
            “Yakin? Rasanya aku ga percaya ah, seorang Salma Althafunnisa bisa ngerasa malas saat sekolah. Bukankah kamu itu belajar holik yah? Aaa.. kamu bohong yah.. ayo ngaku!” Selidik Nisa sambil mengelitiki perut Salma.
            “Ihh.. geli tau.. engga ko, aku gak bohong. Suer deh” Salma mencoba memasang muka seriang mungkin, agar temannya itu tak lagi bertanya tentang keadaannya.
            “Syukur deh kalau kamu gak kenapa-napa. Aku Cuma khawatir sama kamu Salma, aku takut kamu kenapa-napa” Sahut Nisa memasang raut muka sedih.
            “uuu.. so sweet.. Terimakasih ya Nisa. Kamu emang sahabat terbaikku” Puji Salma terhadap Nisa.
            “Iya sama-sama Salma. Aku ke meja aku dulu yah. Nati istirahat kita jajan bareng, ok?” ajak Nisa.
            Salma hanya mengangguk pelan. Kemudian ia kembali merenung tentang kejadian semalam.

Jakarta, 9 November 2014. Pukul ; 20:30 WIB
“Sial, bisnis saya gagal total. Padahal saya sudah mengeluarkan modal milyaran rupiah.” Gerutu Pak Gatot, marah-marah sendiri.
“Kenapa sih kamu pah? Dari tadi saya dengar kamu marah-marah melulu?” Bunda keluar dari ruang kerjanya sambil membawa minuman untuk Pak Gatot.
Gimana papah gak marah Bun? Bisnis papah gagal total. Papah rugi besar Bun.  Milyaran uang papah habis.” Seru Pak Gatot dengan sangat emosi.
“Sudahlah pah, mungkin bukan rezeki papah. Lain kali pasti berhasil.” Bunda memberi support terhadap Pak Gatot.
“Halah, persetan dengan sabar. Dari dulu sudah capek bersabar, tapi tetap saja tidak berhasil. Sudahlah papah mau istirahat dulu.” Jawab Pak Gatot sambil berlalu.
Salma baru saja pulang dari sekolahnya. Sepanjang perjalanan pulang tadi, ia sangat bersemangat untuk menceritakan kepada orang tuanya bahwa ia diterima di Sarboune University, Paris, Prancis. Orang tua Salma memang belum mengetahui hal tersebut, bahkan mereka pun tidak pernah tahu bahwa diam-diam anaknya mengikuti seleksi penerimaan Bunasiswa baru di Sarboune University.
“Assalamualaikum” Ucap salma sambil membuka pintu, kemudian mengamipiri Bunda dan mengecup tangannya.
“Waalaikumsalam” Jawab Bunda.
“Bun, ada satu hal yang ingin Salma bicarakan sama Bunda dan papah” Salma memulai pembicaraan.
“Ada apa sayang? Silahkan bicara saja” Bunda menjawab dengan lembut.
“Ini lho Bun, Salma di terima di jurusan Technology Information, Sarboune University, Paris, Prancis. Jadi saat teman-teman Salma masih sibuk mendaftar ke PTN, salma mulai berkuliah di Paris.” Cerita Salma dengan sangat bahagia.
“Hah? Kapan kamu mendaftar kesana? Kenapa tak beri tahu kami dulu. Di Paris itu biaya hidupnya sangat mahal Salma. Apa kamu tak memikirkan hal tersebut?” Bunda kaget dengan cerita Salma. Ia bingung bukan kepalang, ia masuk kedalam kamar untuk memanggil suaminya.
Bunda dan Pak Gatot keluar dari kamar, mereka menghampiri Salma yang masih termenung dengan perkataan Bunda.
“Salma coba kamu ceritakan kepada papahmu! Bagaimana kamu bisa diterima di Sarboune University? Berapa kira-kira biaya yang harus dikeluarkan untuk kuliah disana.” Jelas Bunda sambil memberi kode kepada suaminya untuk siap mendengarkan.
“Di mading sekolah Salma di tempel pengumuman tentang pendaftaran kuliah di luar negeri. Karena Salma tertarik, salma temui Bu Ranti guru BK Salma. Salma bilang kepada beliau bahwa Salma ingin mendaftar di Sarboune University, Paris, Perancis. Selanjutnya Bu Ranti yang mengurus semuanya. 1 bulan kemudian, Salma mengikuti tes seleksi, dan alhamdullilah Salma lolos Bun, Pah. Soal biaya, Salma rasa Papah bisa membiayai Salma. Biaya per semester nya itu sekitar Rp. 8.000.000,00” Meski takut untuk menceritakannya, tampak terlihat jelas binaran bahagia di mata Salma.
“Apa? Rp.8.000.000,00? Kamu pikir gampang nyari uang sebanyak itu? Seenak jidat aja bilang papah pasti bisa membiayai. Mikir dong Salma, bisnis papah sedang hancur. Lantas dengan gampangnya kamu bilang mau kuliah ke luar negeri dengan papah yang membiayaimu. Kamu anak yang gak tahu diuntung. Entah apa yang salah akan dirimu, semenjak kamu lahir bisnis papah jadi tak sejaya  dulu” dengan suara tinggi, Pak Gatot melontarkan kata-kata yang membuat hati Salma hancur.
Kata-kata itu laksana peluru yang ditembakkan dengan cepatnya tepat di jantung Salma. Berguncang. Salma benar-benar tak kuasa membendung air matanya lagi. Deras, sangat deras. Salma tak berhenti menangis hingga semburat fajar terlihat.
Memang benar apa yang dikatakan papahnya. Sejak Salma lahir, bisnis papahnya sedikit demi sedikit menurun. Sebenarnya, bukan kali ini saja Salma mendengar ucapan seperti itu.  5 tahun silam, saat salma merengek ingin membeli sepeda baru, papahnya mengatakan bahwa sangat sulit sekali memenuhi permintaan  Salma. Padahal dia termasuk orang kaya, namun ketika Salma punya keinginan, kekayaan itu lenyap seketika. Mungkin saat itu Salma terlalu kecil untuk mencerna perkataan papahnya. Salma hanya menganggap itu sebagai emosi semata. Namun kali ini amat berbeda dengan kejadian 6 tahun silam, Salma sudah cukup dewasa untuk memahami perkataan tersebut. Ya, memahami bahwa papahnya menganggap dia seorang parasit yang menyebabkan hancurnya bisnis papah Salma.
“Apa benar yang dikatakan papah? Apa benar aku hanya seorang parasit? Apa benar aku pembawa sial” pertanyaan-pertanyaan semacam itu bermunculan di kepala Salma. Tentu ini sangat mengganggu batin Sama. Sejak kejadian malam itu, Salma bukanlah Salma seperti biasanya. Salma bukan lagi seorang yang hoby bercerita, kini ia menjadi sosok yang sangat pendiam. Teramat sangat. Ia hanya mengangguk, menggeleng dan sedikit tersenyum jika ada yang bertanya kepadanya.

Mimpi, Mimpi, Mimpi...
 “Panggilan kepada Salma Althafunnisa, ditunggu di ruang BK sekarang” suara panggilan berdenging keras dari ruang Guru.
Panggilan tersebut mengingatkan Salma akan sesuatu. Sarboune University. Bagaimana masalah itu? Rasanya, tak mungkin jika papahnya mau membiayai kuliah Salma. Saat ini, jangankan membicarakan hal tersebut, bertemu dengan papahnya pun, ia sangat menghindari. Pusing, bingung, gelisah, sedih. Campur aduk perasaan Salma saat ini. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan. Berkuliah di Sarboune University merupakan impiannya sejak duduk di bangku SMP. Namun, jika Salma kuliah disana, maka benarlah tuduhan papahnya bahwa ia adalah seorang parasit.
Dengan langkah lunglai, Salma berjalan menyusuri ruang kelas menuju ruang BK. Ia masih bingung apa yang harus ia katakan kepada Bu Ranti. Apa dia akan memutuskan untuk tidak jadi kuliah, atau meneruskan kuliah.
“Assalamualaikum bu” Sapa Salma terhadap Bu Ranti.
“Waalaikumsalam, Silahkan duduk Salma” Sambut Bu Ranti dengan raBun.
Salma duduk di kursi yang sudah disediakan Bu Ranti.
“Salma sudah tahu kan kenapa ibu panggil Salma kemari?” Tanya Bu Ranti.
Salma mengangguk pelan.
“Jadi bagaimana? Kamu jadi kan kuliah disana?” Tanya Bu Ranti.
Salma menarik nafas panjang sebelum menjawab pertanyaan tersebut. Ia juga sibuk mengatur emosinya. Jangan nangis. Jangan nangis. Tekad Salma dalam hati.
“Saya tidak tahu bu. Kemungkinan besar sepertinya tidak jadi. Orang tua saya tidak mengijinkan untuk kuliah disana” Dengan perasaan berat, akhirnya keluarlah kalimat tersebut. Kalimat yang sesungguhnya bagai sembilu yang menusuk hati salma.
“Kenapa? Bukankah dulu kamu sangat yakin untuk berkuliah disana? Cobalah kamu pikirkan lagi salma, kesempatan emas seperti ini tidak akan datang dua kali. Kamu tahu kan, bukan hanya ribuan orang yang ingin kuliah di Sarboune University tapi jutaan bahkan puluhan juta orang di dunia ingin berkuliah disana.” Bu Ranti benar benar terkejut dengan jawaban Salma.
Salma mulai menitikan air mata.
“Iya Salma tahu bu. Salma juga tak ingin hal ini terjadi. Jika Salma adalah sang penguasa dunia pastilah Salma tak akan melakukan hal tersebut. Tapi apa daya, Salma hanya seorang manusia biasa bu” Salma mengatakannya sambil terisak.
 “Kenapa Salma? Apa ada masalah denga orang tuamu?” Bingung, Bu ranti bertanya.
“Iya bu. Orang tua salma tidak mengijinkan Salma untuk kuliah disana. Mereka tidak punya biaya untuk membiayai kuliah Salma disana. Bisinis papah salma bangkrut bu.” Dengan sejuta tangisan yang tertahan, Salma berusaha tetap terlihat tegar untuk menceritakan hal itu kepada Bu Ranti.
“Biaya? Kalau soal itu, insyaallah ibu punya solusinya.” Bu Ranti pergi mengambil sesuatu. Kemudian kembali lagi dan menunjukkannya ke Salma.
Salma membacanya dengan teliti. Secercah harapan muncul setelah Salma membaca pengumuman tersebut. Beasiswa. Itulah solusi yang ditawarkan Bu Ranti. Solusi yang benar-benar bisa membebaskan Salma dari keadaan serba salah ini.
“Bagaimana?” Tanya Bu Ranti.
“Alhamdullilah. Terimakasih ya Allah. Terimakasih bu. Saya akan berusaha semaksimal mungkin agar saya bisa mendapatkan beasiswa ini. Terimakasih. Terimakasih. Terimakasih.” Ucap Salma kepada guru BK nya itu.
Beasiswa itu adalah Beasiswa Presiden. Beasiswa dari Presiden Republik Indonesia yang ditunjukkan untuk anak bangsa yang memiliki kecerdasan dan kemauan tinggi untuk melanjutkan pendidikan namun terhalang oleh faktor ekonomi. Syarat yang diajukan pun tak mudah. Para penerima beasiswa harus memiliki nilai rata-rata diatas 9. Dan selama kuliah, para penerima beasiswa harus meraih nilai cumlaude.
“Bismillahirahmanirahim.. ya Allah ridhai hamba untuk kuliah disana. Jadikan beasiswa tersebut menjadi solusi untuk mewujudkan mimpi-mimpi hamba. Hamba hanya ingin menjadi anak yang membanggakan orang tua hamba, membahagiakan mereka. Hamba ingin menjadi sebab atas senyum mereka. Ridhoi hamba ya allah. Hamba ingin mewujudkan mimpi-mimpi hamba karena usaha sendiri. Hamba tak ingin menyusahkan orangtua hamba. Karena hamba bukan seorang parasit. Hamba bukan parasit yang selalu menjadi sebab air mata bagi kedua orang tua hamba. Bukan. Lahaulawalaquwwataillabillahilalihil’adjim, manjadda wa jada. Amiin ya rabbal’alamiin”. Hari itu langit menjadi saksi atas tekad kuat Salma. Ribuan malaikat pun ikut mengamini doa Salma tersebut. Bergetar. Sungguh kuat kekuatan doa Salma. Bahkan jika orangtua Salma mendengar doa tersebut, menagis lah mereka menyesali segala perbuatannya.

Awan Hitam
Bak keadaan bumi bagian utara yang tak sama dengan keadaan bumi bagian selatan. Kebahagiaan Salma di sekolah juga berbeda dengan suasana di rumah. Rumah besar Salma kini bertuliskan “RUMAH INI DI SITA BANK”. Sungguh Salma tak mengetahui apapun tentang hal tersebut. Ia masih belum bisa memahami keadaan ini. Bagaimana bisa rumah yang telah menjadi saksi bisu kehidupan Salma selama 17 tahun kini bukan miliknya lagi. Rumah yang menyimpan kenangan sedih maupun kenangan bahagia kini disita. Lantas kemana dia dan keluarga akan pergi?
“Salma..” dengan berlinang air mata, Bunda memanggil Salma.
“Bunda... ada apa ini Bun? Apa yang terjadi dengan rumah kita?” Salma memeluk Bundanya.
“Sabar ya sayang, mungkin ini ujian untuk keluarga kita. Rumah kita disita oleh bank, ini semua karena papahmu tidak bisa membayar hutangnya. Ia menggadaikan sertifikat rumah kita untuk meminjam modal ke Bank. Ya allah, Salma.. benar-benar malang nasib kita nak” Bunda sebenarnya juga teramat sedih dengan kejadian ini, namun ia tetap tegar demi Salma.
“Lantas sekarang papah dimana Bun? Salma ingin bertemu papah.” Tanya Salma.
“Papahmu sekarang ada di klinik. Ia pingsan, belum sadarkan diri hingga saat ini. Mungkin ia belum bisa menerima kenyataan ini.” Jawab Bunda sambil menyeka air matanya.
Tersungkur. Salma tersungkur ke tanah dengan air mata yang terus mengalir. Ia sungguh merasa bersalah. Mungkinkah benar bahwa ia adalah seorang parasit, pembawa kesialan untuk keluarga ini. Jika benar, tentulah kejadian ini pun Salma penyebabnya. Lalu, akan kemana langkahnya akan pergi sekarang? Pantaskah ia meneruskan mimpi-mimpinya?
dengan sisa-sisa kekuatan, Salma pergi ke klinik untuk mengunjungi papahnya. Dia sudah menguatkan hati agar siap menerima semua perkataan papahnya. Sejahat apapun, dia tetep papahnya. Jika bukan karena papahnya, tak ada satu orangpun yang mau membiayai Salma selama 17 tahun lamanya.
“Papah.. “ Salma berhambur memeluk papahnya.
Pak Gatot masih belum sadarkan diri.
“Maafkan Salma pah. Maafkan Salma. Salma janji, Salma tidak akan menyusahkan papah lagi. Papah bangun ya. Biar Salma yang menanggung beban papah sekarang. Papah harus bangun pah, Salma sayang papah” Salma menangis.
Mata orang tua tersebut mulai membuka. Jari jemarinya mulai bergerak-gerak. Wajahnya menoleh sedikit demi sedikit mencari seseorang yang tulus menyayanginya yang telah membuat ia sadar dari pingsan 5 jam nya. Pak Gatot siuman.
“Alhamdullilah, terimakasih banyak ya Rabb.. Pah, papah.. Salma sayang papah. Teramat sangat pah.” Salma mencium kening dan memeluk papahnya.
Pak gatot tak merespon apapun. Ia hanya membiarkan Salma memeluk erat dirinya. Jujur, pikiran bahwa Salma adalah parasit masih ada dalam pikirannya. Namun, ia tak bisa memungkiri bahwa ia begitu menyayangi Salma. Putrinya, darah dagingnya, kebanggaannya. Tanpa sadar, satu tetes air mata jatuh di pipi Pak Gatot.
Karena rumah mereka sudah disita Bank, Bunda membeli sebuah rumah kecil dengan uang hasil penjualan perhiasannya. Kini mereka tinggal di sebuah kawasan kumuh dekat sungai ciliwung. Tak nyaman memang, tapi bagaimana lagi. Pilihan untuk tinggal di kawasan kumuh rasanya lebih baik daripada tinggal di kolong jembatan.
Tinggal di kawasan kumuh, tentulah tidak mudah bagi keluarga mereka. Keadaan disini jelas bak langit dan bumi dengan keadaan di rumahnya dulu. Mereka harus membiasakan diri dengan lingkungan kotor, pergaulannya yang berbeda, juga tatapan-tatapan sinis masyarakat sekitar melihat keluarga mereka. Tatapan sinis itu bukan tanpa alasan, ini tentu karena perbuatan papahnya. Dulu papahnya lah yang dengan teganya membakar sebagian rumah-rumah warga disini hanya untuk bisnis pribadinya. Sekarang, bahkan papahnya sendiri tinggal di kawasan itu. Hari-hari mereka di rumah baru, sedikit demi sedikit mulai berjalan normal. Bunda mulai kembali bekerja, ia terpaksa menjadi tulang punggung keluarga sekarang karena Pak Gatot masih trauma dan hanya bisa melamun semenjak kebangkrutannya.
Serigala Berbulu Domba
 “Pah, ini kopinya. Papah mau sarapan apa pagi ini?” sapa Bundanya di pagi hari.
Papahnya tak bergeming sedikit pun. Tetap menatap lurus ke depan, menerobos awan pekat yang kini menyelimuti hidupnya. Berharap agar waktu bisa terulang, agar ia bisa membatalkan rencana bisnis tersebut.
 Sebetulnya, bisnis yang dijalankan papahnya jelas menjanjikan keuntungan berlimpah. Bisnis di bidang properti. Papahnya tentu sudah tidak aneh dalam hal berbisnis. Ia dikenal sebagai pebisnis di bidang perminyakan. Ia memiliki banyak aset minyak di pulau kalimantan. Namun, untuk bisnis property, ini jelas debut pertamanya. Ia diajak temannya untuk berbisnis di bidang property, ia juga di janjikan keuntungan berlimpah dari bisnis ini. Namun manusia tetaplah manusia. Sifat egoisme, ingin menjadi penguasa sepenuhnya itu muncul dari teman bisnisnya. Teman papahnya menipu habis-habisan papahnya. Setelah beberapa lama menjalin kerjasama bisnis, suatu hari temannya itu datang ke rumahnya. Memasang raut wajah sengsara yang sebenarnya hanya sebuah kepura-puraan. Ia menjelaskan dengan sangat menyesal.
“Saya mohon maaf dengan amat sangat Pak. Seandainya saya tahu bisnis ini akan gagal, tentu saya tidak akan mengajak bapak bergabung dengan bisnis saya. Tapi, manusia tetaplah manusia. Ia hanya bisa berharap, tak bisa menentukan. Jelas ini adalah takdir dari Allah. Maafkan saya pak. Maafkan. Maafkan saya dengan teramat sangat.” Begitu ucapan maaf dari teman bisnis papahnya.
Sungguh itu hanyalah sebuah kamuflase semata. Topeng kebiadaban dari seorang manusia yang haus akan kekayaan. Beberapa minggu setelah kepindahan keluarganya di rumah baru, Salma melihat teman papahnya itu sedang tertawa bahagia sambil bersalaman dengan seorang pengusaha asing. Penandatangan kerjasama. Ternyata bisnis tersebut tidak benar-benar gagal. Justru sebaliknya, bisnis tersebut benar-benar berhasil. Rencana pembangunan pusat perbelanjaan di ibu kota tersebut berjalan mulus.
“Pak Kadir? Bapak Pak Kadir kan teman bisnisnya papah dulu?” tanya Salma saat pak Kadir setelah pertemuannya dengan pengusa asing.
“Iya, lho ko kamu bi.. bi.. sa ada disini? Lagi ngapain?” jawab Pak Kadir tergagap.
“Salma memang tinggal disini sekarang. Setelah bisnis papah dengan bapak gagal,papah Salma bangkrut.”
“Oohh.. saya turut berduka cita ya Salma”
Kemudian datang rekan kerja Pak Kadir.
“Hey, Hebat kau Dir.. bisnis besar pembuatan pusat perbelanjaan kau akan benar-benar terealisasi. Sayang, si Gatot tidak seberuntung kau. Haha.. dia dengan mudahnya tertipu dengan akal cerdasmu, menanamkan modal milyaran rupiah untuk bisnis ini. Dan kau, dengan pintarnya memanfaatkan kebodohannya. Bagilah taktik-taktik kau padaku? Bagaimana bisa seorang Pak Gatot yang terkenal hebat itu hancur di tanganmu?” Ucap Teman Pak Kadir tanpa tahu jika Salma adalah Anak Pak Gatot.
HANCUR
Salma tercengang. Jelas hatinya telah mengutuk teman papahnya itu. Biadab. Ia tega sekali menipu papahnya. Dengan air mata yang tertahan, dan emosi yang membara Salma meninggalkan tempat tersebut. Ia berjanji akan menceritakan hal tersebut kepada papahnya. Papahnya harus tahu tentang ini. Ia harus tahu bahwa selama ini temannya hanya  berkamuflase dari kebusukannya. Temannya itulah yang pantas mendapat julukan “Serigala berbulu domba”.
“Assalamualaikum..”
“Waalaikumsallam..” Bunda menjawab salam Salma.
“Bun, papah mana? “ Tanya Salma.
“Papah ada di belakang rumah, ia sedang melakukan ritual rutinnya. Melamun, menyesali hidup.” Jawab Bunda dengan keputusasaan.
Salma segara menuju belakang rumahnya. Menatap sejenak wajah yang teramat di cintainya itu. Papahnya yang dulu kekar kini berubah tak berdaya. Seolah tak ada lagi harapan hidup setelah kegagalan bisnisnya. Salma sudah tak sabar ingin menceritakan tentang kebusukan rekan bisnis papahnya itu. Ia menghampiri papahnya dan mengecup telapak tangannya dengan lembut.
 “Assalamualaikum pah.. papah apa kabar?”
Tak ada jawaban dari papahnya.
“Pah, tadi Salma bertemu dengan Pak Kadir. Rekan bisnis papah dulu. Ia banyak berubah sekarang pah”
Bola mata papahnya mulai melirik Salma. Namun kembali acuh. Papahnya pasti berfikir bahwa nasib Pak Kadir sama buruknya dengan dia. Salma tetap melanjutkan ceritanya.
“Tadi pas pulang sekolah, Salma bertemu dengan Pak Kadir di lokasi dulu papah pernah membakar rumah-rumah penduduk kampung karena lahannya telah papah kuasai. Ia sedang mengadakan pertemuan dengan seorang pengusaha asing, untuk membahas bisnis pusat perbelanjaannya itu. Bisnis yang dulu ia janjikan kepada papah akan memberi keuntungan besar.”
“Oh.. hebatnya Kadir, ia bisa bangkit dari keterpurukan dengan cepat” komentar papahnya pendek.
“Tidak pah, papah keliru. Bisnis itu tidak pernah gagal sama sekali. Semua kegagalan yang diceritakan dia kepada papah semuanya bohong. Semuanya baik-baik saja. Bahkan bisnis tersebut berjalan dengan pesat. Ia hanya memanfaatkan papah sebagai pemberi modal, ketika ia sudah mendapatkan modal dari papah ia merancang sedimikian rupa agar bisnis itu terlihat gagal. Papah telah ditipu olehnya.”
“Besok antarkan papah, bertemu Pak Kadir. Papah ingin melihatnya langsung” Ucap papahnya dengan suara datar. Namun kekecewaan, kemarahan serta ketidakpercayaan tergambar jelas dari raut wajahnya. Papahnya pergi meninggalkan Salma. Menenangkan diri, berharap semua itu tidak benar.
Esoknya Salma mengantar papahnya melihat Pak Kadir. Pemandangan yang amat meyedihkan. Pak Kadir terlihat tertawa bahagia bersama pengusaha asing itu. Membicarakan betapa akan megahnya pusat perbelanjaan tersebut. Salma menangkap mata papanya mulai meredup. Sedih, kesal, kecewa, marah namun semua rasanya itu tak bisa ia luapkan. Ia bukan siapa-siapa sekarang, tak akan ada yang mau membelanya. Lagipula ia juga tak punya bukti apapun, ia begitu percaya terhadap temannya itu sehingga ia melupakan soal surat perjanjian. Ah, betapa dia bisa menjadi sebodoh itu. Salma yang tak ingin papahnya semakin menyesali dirinya sendiri, menuntun papahnya untuk pulang. Namun papahnya malah melepaskan gandengan itu, ia berjalan sendiri. Meninggalkan Salma yang masih termangu. Kenapa Papahnya?
            Papahnya kembali ke rumah dengan Salma berada di belakangnya. Entah badai apa yang menghujam papahnya, papahnya marah besar. Seisi rumah dibuat kaget olehnya.
            “Sungguh hidupku ini penuh derita. Segala bencana semuanya menghampiriku. Salah apa aku tuhan? Lebih baik aku pergi dari bumi Mu daripada aku harus menanggung beban sebesar ini” Murka. Pak Gatot sangat murka.
            “Ada apa pah? Ada apa? Kenapa kau tiba-tiba marah seperti ini?” Bunda segera keluar dari kamar setelah mendengar kemarahan Pak Gatot.
            “Apa ku bilang? Dari zaman dahulu, anak perempuan itu hanya membawa petaka saja. Lihat, sedikit demi sedikit bencana mulai menghampiriku. Aku sungguh kecewa terhadapmu, kenapa kau melahirkan anak perempuan”
            “Astagfirullah.. nyebut pah nyebut..” ucap Bunda lirih.
            “Nyebat nyebut. Lihat gara-gara aku menghadiri rapat orang tua di sekolah Salma aku jadi bertemu dengan Kadir. Sekarang Kadir telah menipuku. Ia menghancurkan semua bisnisku. Apa itu belum cukup jelas, untuk menjelaskan..”
            Salma tepat ada di depan pintu ketika kata-kata itu terucap. Sakit. Teramat sakit hati Salma. Kata-kata itu telah memporak porandakan benteng kesabaran yang telah dimiliki Salma. Kesabaran yang timbul dari kasih yang tulus dari seorang anak ke papahnya. Ia telah benar-benar membangun benteng kesabaran itu dengan kuat. Mencoba memahami bahwa semua kata-kata buruk yang keluar dari mulut papahya hanya emosi semata. Tapi kini, semua itu hancurlah sudah. Tak ada kata terucap. Ia segera masuk ke kamar. Mencurahkan segala duka laranya di atas kasur. Deraslah air mata itu mengalir.
            “Sungguh tega kau pah. Bagaimanapun kau adalah papahnya. Salma adalah darah dagingmu.”
            “Terserah. Bahkan aku merasa beruntung jika ia pergi dari rumah ini.”
            “Kau memang biadab”. Bunda menyusul ke kamar Salma.
            “Salma..” Panggil Bunda
            “Sabar ya sayang.. papahmu hayang sedang tersulut emosi”
            “Bun, apa benar Salma itu anak kandung Papah dan Bunda?” Tanya Salma kepada Bundanya
Mendengar pertanyaan Salma, Bunda bahkan harus mengatur detak jantungnya berulang kali.
            “Tentu sayang. Kamu adalah putri semata wayang kami. Kesayangan kami dan kebanggaan kami”
            “Jika benar Salma adalah anak kalian. Kenapa Salma tak pernah mendapatkan kasih sayang seorang papah, Bun? Kenapa papah slalu menyalahkan Salma atas sgala cobaannya? Kenapa Salma selalu dituduh sebagai penyebab ketidakberuntungan Papah? Kenapa Bun, Kenapa..............? Apa pernah Salma menyakiti hati kalian? Apa pernah Salma berbuat kesalahan terhadap kalian? Jika iya, coba ceritakan Bun. Sebesar apa kesalahan Salma hingga Papah tega menghukum Salma dengan segala tuduhan-tuduhannya itu. Jika Papah tidak menginginkan Salma lahir, kenapa ia tidak marah kepada Allah. Kenapa Papah malah melampiaskan ketidaksukaannya itu pada Salma. Kenapa Bun..? Kenapa.....................??? Jawab Bun, Salma lelah. Salma benci semua perkataan papah itu. Salma ga tahan Bun...” Hancur. Entah sudah berapa kali hati Salma hancur. Namun setidaknya, ia telah meluapkan semua perasaan yang ia pendam selama bertahun-tahun. Tentang kenapa? Kenapa? Dan kenapa?
Sebilah bambu seolah langsung menyayat hati Bunda saat itu juga. Ia tahu apa yang Pak Gatot katakan kepada Salma, namun ia sungguh tak menyangka jika anaknya selama ini teramat menderita. Ia hanya berfikir jika Salma selalu menganggap semua perkataan Papahnya sebagai luapan amarah semata. Ia benar-benar telah salah besar.
            “Lalu apa yang harus Bunda lakukan nak? Apa yang harus bunda lakukan agar bunda bisa mendapatkan maaf darimu.. apaa????????? Aaaaapaaaa sayaangg?” Bunda bersimpuh dihadapan Salma. Memohon, meminta, menangis, atau apapun itu asal Salma memaafkannya.
            “Bunda...” Salma berkata lirih sambil membangunkan Bundanya.
            “Tidak.. Bunda tak mau bangun. Bahkan Bunda juga sudah tak ingin hidup lagi jika anak Bunda satu-satunya tak memaafkan Bunda. Bunda tak mau...” Seru Bunda sambil terus menangis.
            “Bun.. (Salma kembali menangis) maafkan Salma.. Maafkan Salma.. Salma sudah membuat Bunda sedih bahkan Bunda pun tak mau hidup lagi gara-gara Salma.. Maafkan Salma bun.. Salma memang bukan anak yang berbakti..”
            “Tidak sayang.. Sungguh, Kamu adalah anugerah terindah yang dikirimkan Allah untuk Bunda. Bahkan bermilyar amal baik Bunda pun tak akan mampu membayar kebaikan sang Maha Pencipta yang telah menciptakan Salma untuk Bunda. Bunda sayang Salma, teramat sayang.. Maafin Bunda ya.. Salma boleh hukum Bunda apa aja, asal Salma jangan marah sama Bunda”
Salma menghambur memeluk Bunda. Salma memang masih sakit hati, namun demi Bunda ia akan menelan semua kesakithatiannya itu. Jangankan hanya bertabah dengan semua perkataan ayahnya, bahkan ia rela mati demi Bunda. Semuanya demi Bunda. Ia berjanji.
Harapan itu masih ada
Keesokan harinya, Salma kembali normal atau hanya pura-pura terlihat normal demi bundanya. Ia berangkat sekolah tanpa menatap papahnya sedikit pun, bukan karena ia benci untuk melihat papahnya ia hanya takut api kemarahan itu akan tersulut kembali setelah matanya menatap Papahnya. Ia sungguh tak ingin, ia sudah berjanji pada Bunda.
Di Sekolah ia bertemu dengan Ibu Ranti.
“Salma ibu harus bicara denganmu. Ikut ibu ke ruang BK” perintah Bu Ranti
Salma berjalan beriringan dengan Bu Ranti ke ruang BK.
“Silahkan duduk Salma” Sahut Bu Ranti
“Terimakasih Bu” Jawab Salma
“Salma, ibu mau tanya sama kamu? Akan dibawa kemana langkahmu itu? Masa depan yang seperti apa yang telah kau rencanakan untuk kau jalani? Ibu bingung benar-benar bingung. Kau melepas kesempatan emas untuk masuk Sourboune University, Kau tak mendaftar sebagai peserta SNMPTN dengan alasan orang tuamu tidak memberimu izin. Lantas apakah kamu tidak akan melanjutkan sekolah? Hanya akan sampai jenjang SMA saja?.....”
“Bu..”
“Sebentar, ibu belum selesai bicara. Kamu adalah murid berprestasi, murid paling bersinar di sekolah ini. Kamu cerdas Salma, semua orang tahu itu. Jika kamu tidak melanjutkan kuliah, ibu benar-benar.. ah ibu benar-benar tak bisa membayangkannya. Bagaimana mungkin murid secerdas kamu, langkahnya terhenti di bangku SMA. Salma apa kau tak merasa bahwa kecerdasanmu itu bukan hal yang bisa di sia-siakan begitu saja. Ayolah Salma, Negara ini masih butuh orang-orang cerdas seperti B.J Habibie. Kau itu generasi emas, aset berharga bagi bangsa ini. Salma, ibu sungguh kecewa haahh.. bagaimana mungkin ini bisa terjadi.. ya rabb” Keluh Bu Ranti sambil terus berusaha menormalkan detak jantungnya.
“(Menarik nafas panjang) Bu.. Salma minta maaf jika Salma pada akhirnya harus mengecewakan ibu. Tapi ini diluar kuasa Salma sebagai manusia biasa. Salma benar-benar tak berdaya untuk hal ini. Ibu tahu, bahkan ibu tak mungkin bisa membayangkan betapa hancurnya hati Salma saat ini. Melepaskan semua impian yang telah begitu lama Salma rajut, bukanlah hal yang mudah untuk Salma. Bahkan kini, Salma benar-benar tak tahu harus melakukan apa.. Saat ini, Salma ada di titik terendah keputusasaan.” Cerita Salma dengan raut keputusasaan
Bu Ranti memeluk Salma, air matanya mengalir deras membasahi bahu Salma.
“Rabb.. Cobaan apa yang kau berikan pada makhluk kecil ini? Sungguh hati ini masih belum bisa menerima takdir yang kau berikan kepadanya.. maafkan aku, jika lagi-lagi aku menjadi hambamu yang bodoh yang tak pernah jeli dimana letak keadilan yang berikan kepada Salma.. meski begitu, kabulkan permintaan hamba.. hambamu ini sungguh menyayangi seseorang yang kini ada di pelukan hamba, hamba mohon lindungilah dia, berikanlah ia kebahagiaan, dan sukseskanlah ia di segala usaha yang ia lakukan. Hiks.. “
Bu Ranti mengusap air matanya, dan mulai menatap mata Salma. Salma masih tak bergeming dalam raut keputusasaan.
“Salma dengarkan ibu.. apapun jalan yang nanti kau tempuh kamu harus tetap kuat, janganlah kau menjadi bodoh seperti ibu. Kamu harus tetap menjadi Salma yang cerdas, cerdas membaca letak keadilan Allah di setiap takdir yang Ia berikan. Jangan pernah bunuh mimpi-mimpimu, karena meski mimpi-mimpi itu hancur kepingan-kepingannya masih bisa kamu pegang sebagai tujuan hidup. Ingat ketika kamu bermimpi, maka Allah akan memeluk mimpi-mimpi itu. Allah tak akan pernah meninggalkan dirimu sendirian, ia akan setia bersamamu. Semangat.. jalanmu masih panjang, jika kamu menyerah saat ini maka kamu akan kehillangan kesempatan melihat kejutan indah yang telah Ia siapkan di depan sana. Kamu masih punya kesempatan, SBMPTN. Kejarlah itu, ibu akan selalu mendukungmu.”
“Terima kasih bu, terima kasih atas kasih tulus ibu. Yah, Salma harus bangkit menata masa depan Salma. Jika memang orang tua Salma hancur itu tak berarti Salma harus ikut hancur juga. Salma harus tetap berjuang meraih impian Salma. Terima kasih bu, I’m so lucky to have you as my great teacher” Salma memeluk Bu Ranti sekali lagi. Harapan itu kembali muncul di benak Salma.
Hari demi hari, lembar demi lembar buku tlah Salma lahap. Tak hanya belajar, Salma pun kini bekerja part time di salah satu restoran makanan cepat saji. Ah, terlihat lelah memang namun rasanya ini akan sebanding dengan indahnya impian yang terealisasikan.
Sore senja di pinggir sungai Ciliwung, Salma pulang sore hari ini. Ia pulang dengan membawa makanan yang ia dapat dari Boss nya. Makanan yang cukup mahal, sepanjang jalan ia hanya membayangkan betapa lezatnya makanan itu. Salma menyantap makanannya, dan tak lama setelah itu papahnya menghampiri dan langsung memakan paksa makanan Salma.
“Pah, tapi itu makanan Salma. Salma pengen banget makan itu”
Diam tak memberi tanggapan, melanjutkan makan.
“Pah, apa bisa papah memikirkan Salma sedikit saja? Selama ini Salma selalu berusaha agar tidak membebani pah, agar papah bisa berhenti menganggap Salma parasit di kehidupan Papah. Salma belajar siang malam, kerja part time, itu semua Salma lakukan demi Papah. Salma ga pernah sepeser pun minta uang ke papah untuk biaya pendidikan Salma, Salma tak pernah menuntut papah untuk membelikan baju-baju mahal untuk Salma, Salma tak pernah menyuruh papah seperti papah-papah teman Salma. Ta.. ta.. pi Salma hanya ingin papah menghargai Salma sedikit saja, menghargai segala usaha yang Salma lakukan. Jika Papah tidak mampu membiayai Salma secara material, tidak bisakah papah mendukung Salma dengan hanya sebuah kata-kata, dengan hanya menghargai dan menganggap Salma sebagai anak papah?”
“Praaak” Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Salma.
“Anak kurang ajar. Tidak tahu diri. Kamu sudah aku besarkan sampai saat ini, kamu sudah aku biarkan hidup sampai saat ini. Kemana kau hilangkan semua jasaku itu? Aish, aku hampir lupa. Jangankan untuk membalas jasaku, yang ada kau malah mebuatku jatuh ke tempat terendah seperti ini. Kau telah membawa banyak kesusahan dalam hidupku. Aaahh.. aku benar-benar gila. Kenapa dulu aku harus membesarkan anak seperti dia, jika pada akhirnya hanya akan menjadi penyebab banyak kesulitan dalam hidupku dan malah dengan bangganya menyombongkan diri jasa-jasa dia yang dia anggap akan berguna bagi kehidupanku. Kau memang anak yang tidak tahu terimakasih, kau mungkin tidak akan lulus dalam tes itu. Biadab !!!!!”
Hari itu akhirnya tiba, SBMPTN





No comments:

Post a Comment