Friday, December 26, 2014

Ikhlas bukan berarti pasrah

“kasih ibu kepada beta.. tak terhingga sepanjang masa....” pengamen anak laki-laki itu terlihat lagi di pinggir lampu merah. Setiap sore saat aku pulang bekerja, anak itu selalu ada.
Dengan pakaian yang amat sangat tak layak, penampilan berantakan, kotor, dan bau. Kadang aku berfikir dalam hati, kemana orang tuanya. Apakah mereka tega melihat anaknya seperti itu. Berjalan diatas panasnya aspal jalanan dan teriknya sinar sang surya. Saat itu aku sungguh penasaran dengan anak itu, aku turun dari mobil dan menghampiri anak itu. Air muka anak itu berubah dari lelah menjadi cerah ketika melihatku, mungkin ia berfikir aku akan memberi uang atas nyanyiannya. Kuperhatikan ia dari ujung rambut sampai ujung kaki, sungguh tak menarik sama sekali. Karena aku tak kunjung memberinya uang, akhirnya ia kembali melanjutkan nyanyiannya. Bukan suara yang bagus untuk seorang penyanyi, bahkan gitar yang dimainkannya pun sama sekali tak sesuai nadanya. Tapi, ketika ku lihat ia mengamen ada satu hal yang membuatku takjub terhadapnya. Senyuman. Ya, senyuman dia sungguh indah. Senyum yang benar-benar tulus, sama sekali tak tergambar dari raut mukanya.
“Hei.. de.. sini” kata ku memanggilnya.
Ia kemudian menghampiriku.
“Ada apa ka?” tanyanya
“Apa kamu mau bernyanyi untuk kaka.. lagu apa saja nanti kakak bayar” pintaku.
“Tentu ka, itukan memang pekerjaanku” sahutnya senang.
Sebuah lagu dengan judul “yang terbaik untukmu ia lantunkan. Sungguh aku sama sekali ingin mendengar suaranya, tapi aku ingin melihat senyumannya. Lagu itu selesai dimainkan, ia mulai menjulurkan tangannya kepadaku sebagai kode bahwa aku harus segera membayarnya. Aku memberikan uang itu kepadanya.
“Ini, terimakasih ya. Oh iya, kakak boleh bertanya sesuatu kepadamu?”
“Boleh, apa ka?”
“Kamu sekolah?”
“Sekolah”
“Oh ya? Dimana?”
“Di SD itu (menunjuk sebuah sekolah yang terbuat dari kayu, mungkin sekolah yang dibuat oleh para sukarelawan)”
“Hmm.. kamu rangking berapa?”
“Rangking 1 dong ka. Aku gitu lho” jawabnya sambil tersenyum simpul.
“Wihhh.. hebat ya kamu. Berarti kamu ngamen sambil sekolah?”
“Terimakasih ka. Iya, sehabis pulang sekolah aku mengamen hingga petang. Setelah itu, aku mengantarkan pakaian yang sudah dicuci oleh ibu ke pemiliknya. Sekitar jam 9 malam baru aku belajar. “
“kamu ga cape de?”
“Engga, aku lebih capek jika aku harus hidup seperti ini terus. Ibuku selalu berkata padaku, untuk selalu bekerja keras. Karena nasib itu hanya dapat diubah dengan kerja keras.”
“Ibu kamu pasti seorang wanita hebat”
“Iya, dia memang seorang wanita yang sangat hebat. Ia menjadi single parents setelah ayah meninggal. Ia menjadi buruh cuci, menjaga anak tetangga, menjadi buruh tani demi keluarga kami dan untuk menyekolahkanku. Sebetulnya dia melarangku untuk mengamen, dia bilang bahwa tugasku hanyalah belajar. Namun aku sungguh tak tega melihat ibu membanting tulang sendirian. Alhamdullilah, kini ibu sudah mengizinkanku untuk membatunya.”
“De, apakah kamu ikhlas dengan segala yang menimpamu? Apa kamu tak pernah menyalahkan Allah atas nasibmu itu?”
“Ikhlas, sungguh ikhlas. Tidak, dan jangan sekali-kali melakukannya. Aku diberi nafas yang tak pernah berhenti selama 24 jam oleh allah, aku diberi anggota tubuh yang sempurna oleh alllah, aku di beri akal untuk difikir oleh allah. Lalu, apakah aku masih pantas untuk bersikap seperti itu kepada Nya?. Aku Islam. Oleh karena itu aku wajib mempercayai qada dan qadarnya Allah. Itu pasti terbaik untukku.”
“Jika kamu ikhlas dengan semua itu, lantas kenapa kamu masih sekolah? Dan kamu berkeinginan untuk hidup lebih baik?”
“Ka, ikhlas itu bukan berarti pasrah. Jika kita mendapat masalah, jika keinginan kita tidak tercapai, jika hidup kita tidak sebahagia orang lain kita harus ikhlas menerimanya, tetapi bukan berarti kita itu pasrah dan membiarkan itu semua tetap terjadi kepada kita. Misal, kita mempunyai mimpi. Lalu kita sudah berusaha sekuat tenaga, berdoa semaksimal mungkin lalu kenyataannya mimpi itu tidak tercapai. Kita harus menerimanya, namun mimpi itu tak boleh padam dari dalam hati kita. Kita harus kembali bangkit, untuk memperjuangkan mimpi-mimpi itu lagi bahkan membuat mimpi yang lebih besar. Dengan usaha yang lebih besar, dan berdoa yang lebih besar. Kita harus bangun, bangun, dan bangun lagi setelah kita terjatuh. Bukan hanya meratapi kegagalan kita, dan terus menerus mengeluh pada Allah. Itu sama sekali tak akan menyelesaikan masalah.”
Berlinang air mata di mataku. Bagaimana bisa seorang pengamen cilik yang hidupnya lebih sulit dariku bisa berkata demikian hebatnya. Bagaimana mungkin dengan kesusahan yang ia punya, ia memiliki hati yang besar dan memaknai kesusahannya itu dengan bijaksana. Malu. Sungguh malu. Kenapa anak ini bisa bersikap seperti itu, sedangkan aku tidak bisa. Hidupku kini berkecukupan, mobil ada, rumah ada, orang tua masih lengkap, namun ketika ku mendapat kesulitan aku selalu bersikap seolah-olah akulah orang yang paling sengsara di muka bumi ini. Menyalahkan Allah. Berfikir bahwa Allah tidak adil, karena memberikan kesulitan itu padaku. Lihat anak itu, bahkan ia masih sanggup tersenyum tulus pada setiap orang walaupun orang-orang itu telah menghinanya, ia bahkan bisa mengajariku cara memaknai ikhlas yang sesungguhnya. Aku salah. Salah besar. Aku berhambur memeluknya. Di pelukannya aku menangis.
“Terimakasih sayang, kamu telah mengajarkan kakak apa arti ikhlas dan bagaimana memaknai hidup dengan bijaksana. Terimakasih atas senyum tulusmu. Terimakasih atas kekuatannmu, dan kesederhanaanmu”

Sungguh, hari ini aku telah belajar banyak hal dari seorang pengamen cilik. Yang hidup di bawah kolong jembatan, berpakaian kotor dan bau, tidak rapih, kusam, namun dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh banyak orang bahkan orang-orang bergelar profesor dan orang-orang berdasi pun belum tentu memilikinya. Keistimewaannya itu adalah hati yang mulia. Yang selalu membuat dia senantiasa bersukur, ikhlas menerima cobaan, dan mengajarkan orang-orang sepertiku bagaimana cara memaknai hidup sesungguhnya. Kini aku belajar, bahwa “Ikhlas itu bukan berarti pasrah”. Terimakasih dek.

"Created by Mumut"

No comments:

Post a Comment