“kasih
ibu kepada beta.. tak terhingga sepanjang masa....” pengamen anak laki-laki itu
terlihat lagi di pinggir lampu merah. Setiap sore saat aku pulang bekerja, anak
itu selalu ada.
Dengan
pakaian yang amat sangat tak layak, penampilan berantakan, kotor, dan bau.
Kadang aku berfikir dalam hati, kemana orang tuanya. Apakah mereka tega melihat
anaknya seperti itu. Berjalan diatas panasnya aspal jalanan dan teriknya sinar
sang surya. Saat itu aku sungguh penasaran dengan anak itu, aku turun dari
mobil dan menghampiri anak itu. Air muka anak itu berubah dari lelah menjadi
cerah ketika melihatku, mungkin ia berfikir aku akan memberi uang atas
nyanyiannya. Kuperhatikan ia dari ujung rambut sampai ujung kaki, sungguh tak
menarik sama sekali. Karena aku tak kunjung memberinya uang, akhirnya ia
kembali melanjutkan nyanyiannya. Bukan suara yang bagus untuk seorang penyanyi,
bahkan gitar yang dimainkannya pun sama sekali tak sesuai nadanya. Tapi, ketika
ku lihat ia mengamen ada satu hal yang membuatku takjub terhadapnya. Senyuman.
Ya, senyuman dia sungguh indah. Senyum yang benar-benar tulus, sama sekali tak
tergambar dari raut mukanya.
“Hei..
de.. sini” kata ku memanggilnya.
Ia
kemudian menghampiriku.
“Ada
apa ka?” tanyanya
“Apa
kamu mau bernyanyi untuk kaka.. lagu apa saja nanti kakak bayar” pintaku.
“Tentu
ka, itukan memang pekerjaanku” sahutnya senang.
Sebuah
lagu dengan judul “yang terbaik untukmu ia lantunkan. Sungguh aku sama sekali
ingin mendengar suaranya, tapi aku ingin melihat senyumannya. Lagu itu selesai
dimainkan, ia mulai menjulurkan tangannya kepadaku sebagai kode bahwa aku harus
segera membayarnya. Aku memberikan uang itu kepadanya.
“Ini,
terimakasih ya. Oh iya, kakak boleh bertanya sesuatu kepadamu?”
“Boleh,
apa ka?”
“Kamu
sekolah?”
“Sekolah”
“Oh
ya? Dimana?”
“Di
SD itu (menunjuk sebuah sekolah yang terbuat dari kayu, mungkin sekolah yang
dibuat oleh para sukarelawan)”
“Hmm..
kamu rangking berapa?”
“Rangking
1 dong ka. Aku gitu lho” jawabnya sambil tersenyum simpul.
“Wihhh..
hebat ya kamu. Berarti kamu ngamen sambil sekolah?”
“Terimakasih
ka. Iya, sehabis pulang sekolah aku mengamen hingga petang. Setelah itu, aku
mengantarkan pakaian yang sudah dicuci oleh ibu ke pemiliknya. Sekitar jam 9
malam baru aku belajar. “
“kamu
ga cape de?”
“Engga,
aku lebih capek jika aku harus hidup seperti ini terus. Ibuku selalu berkata
padaku, untuk selalu bekerja keras. Karena nasib itu hanya dapat diubah dengan
kerja keras.”
“Ibu
kamu pasti seorang wanita hebat”
“Iya,
dia memang seorang wanita yang sangat hebat. Ia menjadi single parents setelah
ayah meninggal. Ia menjadi buruh cuci, menjaga anak tetangga, menjadi buruh
tani demi keluarga kami dan untuk menyekolahkanku. Sebetulnya dia melarangku
untuk mengamen, dia bilang bahwa tugasku hanyalah belajar. Namun aku sungguh
tak tega melihat ibu membanting tulang sendirian. Alhamdullilah, kini ibu sudah
mengizinkanku untuk membatunya.”
“De,
apakah kamu ikhlas dengan segala yang menimpamu? Apa kamu tak pernah
menyalahkan Allah atas nasibmu itu?”
“Ikhlas,
sungguh ikhlas. Tidak, dan jangan sekali-kali melakukannya. Aku diberi nafas
yang tak pernah berhenti selama 24 jam oleh allah, aku diberi anggota tubuh
yang sempurna oleh alllah, aku di beri akal untuk difikir oleh allah. Lalu,
apakah aku masih pantas untuk bersikap seperti itu kepada Nya?. Aku Islam. Oleh
karena itu aku wajib mempercayai qada dan qadarnya Allah. Itu pasti terbaik
untukku.”
“Jika
kamu ikhlas dengan semua itu, lantas kenapa kamu masih sekolah? Dan kamu
berkeinginan untuk hidup lebih baik?”
“Ka,
ikhlas itu bukan berarti pasrah. Jika kita mendapat masalah, jika keinginan
kita tidak tercapai, jika hidup kita tidak sebahagia orang lain kita harus
ikhlas menerimanya, tetapi bukan berarti kita itu pasrah dan membiarkan itu
semua tetap terjadi kepada kita. Misal, kita mempunyai mimpi. Lalu kita sudah
berusaha sekuat tenaga, berdoa semaksimal mungkin lalu kenyataannya mimpi itu
tidak tercapai. Kita harus menerimanya, namun mimpi itu tak boleh padam dari
dalam hati kita. Kita harus kembali bangkit, untuk memperjuangkan mimpi-mimpi
itu lagi bahkan membuat mimpi yang lebih besar. Dengan usaha yang lebih besar,
dan berdoa yang lebih besar. Kita harus bangun, bangun, dan bangun lagi setelah
kita terjatuh. Bukan hanya meratapi kegagalan kita, dan terus menerus mengeluh
pada Allah. Itu sama sekali tak akan menyelesaikan masalah.”
Berlinang
air mata di mataku. Bagaimana bisa seorang pengamen cilik yang hidupnya lebih
sulit dariku bisa berkata demikian hebatnya. Bagaimana mungkin dengan kesusahan
yang ia punya, ia memiliki hati yang besar dan memaknai kesusahannya itu dengan
bijaksana. Malu. Sungguh malu. Kenapa anak ini bisa bersikap seperti itu,
sedangkan aku tidak bisa. Hidupku kini berkecukupan, mobil ada, rumah ada,
orang tua masih lengkap, namun ketika ku mendapat kesulitan aku selalu bersikap
seolah-olah akulah orang yang paling sengsara di muka bumi ini. Menyalahkan
Allah. Berfikir bahwa Allah tidak adil, karena memberikan kesulitan itu padaku.
Lihat anak itu, bahkan ia masih sanggup tersenyum tulus pada setiap orang
walaupun orang-orang itu telah menghinanya, ia bahkan bisa mengajariku cara
memaknai ikhlas yang sesungguhnya. Aku salah. Salah besar. Aku berhambur
memeluknya. Di pelukannya aku menangis.
“Terimakasih
sayang, kamu telah mengajarkan kakak apa arti ikhlas dan bagaimana memaknai
hidup dengan bijaksana. Terimakasih atas senyum tulusmu. Terimakasih atas
kekuatannmu, dan kesederhanaanmu”
Sungguh,
hari ini aku telah belajar banyak hal dari seorang pengamen cilik. Yang hidup
di bawah kolong jembatan, berpakaian kotor dan bau, tidak rapih, kusam, namun
dia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh banyak orang bahkan
orang-orang bergelar profesor dan orang-orang berdasi pun belum tentu
memilikinya. Keistimewaannya itu adalah hati yang mulia. Yang selalu membuat
dia senantiasa bersukur, ikhlas menerima cobaan, dan mengajarkan orang-orang
sepertiku bagaimana cara memaknai hidup sesungguhnya. Kini aku belajar, bahwa “Ikhlas itu bukan berarti pasrah”.
Terimakasih dek.
"Created by Mumut"
No comments:
Post a Comment